Selasa, 25 September 2007


Jumat, 21 September 2007

MAXIMIZING YOUR MANHOOD



1. Pendahuluan

Tuhan Allah menjadi manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Laki-laki dan perempuan dijadikan-Nya dengan keunikan masing-masing (Kej 1:26-28). Tujuan-Nya adalah agar dalam keberadaannya yang unik itu manusia memuliakan nama-Nya. Patut disayangkan jika kemudian – karena dosa – manusia tidak bersyukur atas keberadaannya itu. Manusia tidak hidup dan berfungsi sebagaimana yang Allah kehendaki. Manusia tidak memaksimalkan berbagai potensi yang Allah berikan kepadanya. Bahkan tidak jarang manusia itu kemudian iri melihat sesamanya dan ingin menjadi seperti orang lain.
Sebagai laki-laki Allah memberikan kepada kita banyak hal yang dapat kita maksimalkan. Kita harus mempelajari kembali potensi dan keunikan apa saja yang Allah berikan kepada seorang laki-laki, dan bagaimana memaksimalkannya.

2. Standard Alkitabiah

Alkitab menyatakan bahwa bagi setiap laki-laki Allah menetapkan beberapa standard yang realistis dan sangat berguna. Apabila dengan penuh kerinduan kita melibatkan Roh Kudus-Nya untuk memaksimalkan diri dan mencapai standar itu, maka kita dapat memuliakan Nama-Nya dengan luar biasa. Beberapa standard yang dimaksud adalah sebagai berikut.

2.1. Kuat (2 Tim 2:1)

  1. Kuat fisik, melalui makanan, istirahat dan olahraga yang baik (Roma 12:1; 1 Tes 5:23)
  2. Kuat mental
  • Pikiran – melatih pikiran kita dengan terus-menerus belajar (Yes 50:4), menggunakannya secara seimbang antara otak kanan dan otak kiri (1 Kor 14:15), memikirkan hanya hal-hal yang positif (Flp 4:8)
  • Perasaan – memiliki kepekaan dan kepedulian (Mat 9:35-38), lemah lembut dan rendah hati (Mat 11:29)
  • Kehendak – menjadikan kehendak Allah sebagai kehendak-nya (Yoh 6:28), berani mengambil keputusan untuk melakukan kehendak Allah tersebut dengan segala resikonya (Kis 4:19), penuh tanggung jawab (Mat 25:21,23), stabil (1 Kor 16:13).

3. Kuat rohani

  • memanfaatkan sumber-sumber kekuatan rohani (firman Tuhan, doa, pelayanan) (Efs 6:10)
  • penuh dengan Roh Kudus (Efs 5:18)
  • memiliki komitmen untuk taat dan setia (1 Pet 1:14)
  • memiliki pengendalian diri yang baik (1 Kor 9:24-27)
  • menang atas berbagai pencobaan (Roma 8:37)

2.2. Memiliki Hidup yang Bertujuan – Having A Purpose Driven Life

  1. Mengerti sesungguhnya untuk aoa kita ada di dunia
  2. Mengerti bahwa kita direncanakan bagi kesenangan Allah (Yes 61:3)
  3. Mengerti bahwa kita dibentuk untuk keluarga Allah
  4. Mengerti bahwa kita diciptakan untuk menjadi serupa dengan Kristus
  5. Mengerti bahwa kita dibentuk untuk kemuliaan Allah
  6. Mengerti bahwa kita diciptakan untuk sebuah misi

2.3. Memiliki Sikap Dewasa (Kol 4:12)

  1. Suka akan makanan rohani yang keras (Ibr 5:14)
  2. Memahami makna dan sifat kedewasaan: dapat dipercayai, memiliki kebulatan tekad, mampu mengendalikan lidah, hidup tertib dan ter-atur, mantap dan konsisten, loyal atau setia, mampu bekerja sama, memiliki iman yang bertumbuh
  3. Memiliki kasih Allah untuk menerima dan mengampuni orang lain (1 Yoh 3:19)
  4. Cepat mengaku dan bertobat dari dosa yang diperbuat (1 Yoh 1:9)
  5. Cakap membimbing dan mengajar orang lain untuk hidup dalam ketaatan kepada Kristus (Roma 16:26)
  6. Menjunjung tinggi kebenaran dan kekudusan hidup (1 Pet 1:16)

3. Keteladanan Yesus Kristus

Salah satu tujuan Yesus Kristus datang ke dalam dunia ini adalah menjadi teladan bagi kita. Berbagai standard Alkitabiah di atas telah dipenuhi oleh Yesus Kristus. Dengan mengenal-Nya dalam persekutuan pribadi lebih baik lagi, akan memampukan kita dapat memaksimalkan keberadaan kita sebagai laki-laki.-

----- 00000 -----



Pdt. Petrus F. Setiadarma

Jumat, 14 September 2007

CITRA DIRI YANG SEHAT
YESAYA 43:1-7


1. Pendahuluan

Pertanyaan “Siapakah saya?” selalu diajukan oleh setiap orang terhadap dirinya sendiri. Jawaban atas pertanyaan ini pasti beragam bergantung dari sudut pandang ke-ilmuan (anthropologi, sosiologi, psikologi, dsb.), juga dari pemahaman global (world-view) dan latar belakang pengalaman hidup orang yang bersangkutan.
Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan sikap hidup, perkataan, dan per-buatan kita sehari-hari. Sikap-sikap seperti rendah diri atau percaya diri, homoseksual atau heteroseksual, overacting atau normal, dipengaruhi oleh citra dirinya.
Kita harus memiliki jawaban yang benar seperti yang memang dimaksudkan oleh Tuhan Allah karena Dia adalah Pencipta kita. Alkitab adalah Firman Allah yang me-nyatakan dengan jelas siapakah kita manusia, dan yang secara khusus berada di dalam Kristus.

2. Pandangan Umum

Dalam pandangan umum, manusia dikatakan berharga dan keberadaannya diakui orang lain apabila ia memiliki kelebihan tertentu atau telah mencapai prestasi tertentu. Orang-orang yang tampan dan cantik, sexy, pandai dan cerdas, kaya, kuat, bertubuh atletis dan kelebihan lainnya mendapatkan tempat di hati masyarakat. Tetapi orang-orang yang berwajah biasa, terlalu gemuk atau kurus, bodoh, miskin, lemah, sakit-sakitan, menyandang cacat, dan kekurangan lainnya, sama sekali diabaikan.
Penolakan semacam ini membuat manusia berusaha sekuat tenaga untuk meng-atasi segala kelemahannya. Itu tidak sepenuhnya salah sepanjang tidak menggunakan cara-cara yang salah dan tidak terpuji. Tidak jarang orang memanipulasi dirinya agar tampil lebih menarik, menggunakan aji pelet untuk menarik perhatian lawan jenis, mencari pesugihan agar menjadi kaya, membeli ijazah dan gelar, dan sebagainya.
Mereka yang gagal mencapai itu semua kemudian lari kepada penyalahgunaan obat terlarang, rendah diri, menutup diri, bahkan mengakhiri hidupnya secara tragis.

3. Pandangan Alkitab

Inilah citra diri yang benar dan sehat bagi kita yang ada di dalam Kristus:

1. Ciptaan Tuhan Allah yang segambar dan serupa dengan Allah sendiri (Kej. 1:26)
2. Diperlengkapi dengan berbagai kemampuan untuk menaklukkan bumi (Kej. 1:28)
3. Unik, berbeda satu dari yang lain, dan ditempatkan di berbagai belahan dunia (Kisah 17:26-28)
4. Ciptaan baru di dalam Yesus Kristus (2 Kor. 5:17)
5. Bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (1 Pet. 2:9)
6. Anak-anak Allah yang berhak mewarisi janji-janji Allah (Roma 8:17)
7. Bait Roh Kudus (1 Kor. 3:16; 6:19-20)
8. Pilihan Allah untuk menjadi kawan sekerja Allah sendiri (1 Kor. 1:26-29; 3:9)
9. Terang Dunia dan Garam Dunia (Mat. 5:13-16)
10. Anggota Tubuh Kristus dengan berbagai talenta yang beragam (1 Kor. 12:11)

4. Bentuk Praktis

Setelah kita memahami keberadaan kita di dalam Yesus Kristus menurut apa yang dikatakan Alkitab, selanjutnya secara praktis kita dapat mengambil langkah-langkah berikut:

1. Bersyukur kepada Tuhan untuk keberadaan kita sebagai ciptaan-Nya … sebagaimana adanya, termasuk cacat yang disandang (2 Kor. 12:7)
2. Tidak iri melihat keberadaan orang lain, tetapi mengakuinya secara sportif
3. Berpikir positif dengan memfokuskan diri pada kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kita. Tuhan menerima kita … apa adanya (Kel. 4:2)
4. Meningkatkan potensi yang Tuhan berikan dengan cara yang benar, seperti: belajar dengan tekun, menambah pengetahuan dan informasi, ber-olahraga, memgatur pola makan, dan sebagainya.
5. Mengobarkan berbagai talenta yang Tuhan berikan dalam berbagai bentuk pelayanan. Tidak ada pelayanan “rendahan” di hadapan Tuhan. Semua pelayanan dibutuhkan dalam Tubuh Kristus.
6. Menolong orang lain memiliki citra diri yang sehat (Ibr. 12:12).

5. Kesimpulan

Dengan memiliki citra diri yang sehat, kita dapat memuliakan Tuhan, selalu ber-syukur dan memiliki kerinduan mempersembahkan apa yang ada untuk melayani Tuhan, bahkan mampu menolong orang lain agar memiliki citra diri yang sehat pula. Jangan menjadi serupa dengan dunia ini, melainkan hidup menurut kehendak Allah (Roma 12:2).

----- 00000 -----

pdt. drs. petrus f. setiadarma, mdiv.
pfs60@hotmail.com

BE A TOUGH LEADER

Munculnya Seorang Pemimpin

Bagaimana seseorang bisa menjadi pemimpin? Berikut ini adalah beberapa teori tentang munculnya seorang pemimpin:

(a) Teori Genesis (Trait Theory) – Leaders are born, not made. Seseorang bisa menjadi pemimpin karena kelahirannya. Sejak ia lahir, bahkan sejak ia di dalam kandungan, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Berbagai pengalaman dalam hidupnya akan semakin melengkapinya untuk menjadi pemimpin di kemudian hari. Teori ini ada benarnya, terutama dalam tokoh-tokoh Alkitab. Yeremia, misalnya, adalah seorang pemimpin (sebagai nabi) yang sejak dalam kandungan telah dipanggil, ditetapkan, dan dikuduskan oleh Allah sendiri (Yeremia 1:4-5).
(b) Teori Transformasi (Transformational Theory) – Leaders are made, not born. Seseorang bisa menjadi pemimpin karena pembentukan. Jika ia memiliki keinginan yang kuat, sekalipun ia tidak dilahirkan sebagai pemimpin, ia bisa menjadi seorang pemimpin yang efektif. Pemimpin yang baik mengembangkan dirinya melalui proses tiada henti baik dalam belajar mandiri, pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Teori ini juga ada benarnya. Perhatikan bagaimana Simon Petrus, seorang nelayan sederhana, dibentuk oleh Tuhan Yesus sedemikian rupa sehingga dapat menjadi seorang rasul yang pengaruhnya luar biasa. Yesus menyatakan kepada Simon Petrus dan murid-murid-Nya yang lain, “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” (Matius 4:19).
(c) Teori Keturunan – Leaders are the successors of his father. Seseorang bisa menjadi pemimpin karena mewarisi posisi atau jabatan kepemimpinan dari orang tuanya. Teori ini hanya berlaku dalam zaman dinasti kekaisaran atau kerajaan. Contohnya adalah daftar raja-raja Kerajaan Yehuda seluruhnya merupakan keturunan dari Raja Daud. Kadang-kadang yang bersangkutan tidak memenuhi syarat untuk bisa menjadi pemimpin, tetapi karena ketentuan dinasti itulah, maka ia tetap bisa menjadi pemimpin. Tidak heran jika kemudian timbul berbagai masalah akibat ketidakmampuan tersebut.
(d) Teori Kesempatan – Leaders are the people who taking a chance. Sese-orang bisa menjadi pemimpin hanya apabila kepadanya diberi kesempatan atau peluang untuk menjadi pemimpin. Bakat-bakat kepemimpinan yang dimilikinya baru akan benar-benar muncul jika kepadanya diberi kesempatan untuk memimpin. Teori ini juga dapat dibenarkan dalam kerangka pemuridan dan pendelegasian. Ketika seorang pemimpin yang senior memberi kesem-patan kepada yang yunior, di situlah “anak-anak rajawali” itu belajar terbang. Dengan dukungan yang baik dari para seniornya, maka lambat-laun ia bisa mengembangkan dirinya.
(e) Teori Darurat (Great Events Theory) – Leaders are people who taking control in an emergent situation. Seseorang bisa menjadi pemimpin ketika ia mampu secara spontan mengendalikan situasi darurat yang sedang terjadi. Teori ini juga dapat dibenarkan, dan sang pemimpin bisa terus menjalankan tugasnya hingga situasi kembali normal. Dalam situasi normal bisa saja ia kembali dipilih untuk memimpin atau digantikan orang lain.

Semua teori di atas dapat digunakan dalam pemunculan seorang pemimpin, tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Seseorang yang memang “ditakdirkan” sebagai pemimpin pun, jika tidak bersedia mengembangkan diri dalam berbagai proses yang melengkapi dirinya, tidak akan bisa memimpin dengan baik. Musa adalah contoh yang baik. Ia harus menjalani proses “padang belantara” selama 40 tahun sebelum kemudian muncul sebagai pemimpin.





Empat Unsur Penting

Dalam kehidupan setiap orang, ada siklus yang pasti dia jalani sebagaimana digambarkan dalam denah berikut ini.



Dream Desire Difficulties Death Deliverer Destiny



PROMISE p r o b l e m s PROVISIONS


PREPARATION

transition



Untuk dapat berhasil melewati siklus itu, termasuk dalam kepemimpinan, kita harus memiliki 4 (empat) unsur penting, yaitu empat unsur kecerdasan: SQ, IQ, EQ, dan AQ.

2.1. Spiritual Quotient – SQ

Spiritual Quotient (kecerdasan rohani) adalah ukuran yang dikenakan kepada seseorang dalam relasinya dengan Tuhan. Kecerdasan rohani ini dapat ditingkatkan terus melalui beberapa kegiatan berikut:

(a) Kehidupan doa yang dinamis, yaitu ada komunikasi dua arah. Dalam doa itu ada Adoration (pujian dan pengagungan), Confession (peng-akuan dosa dan pengampunan), Thanksgiving (pengucapan syukur), dan Supplication (permohonan).
(b) Ketekunan dalam membaca dan menaati Firman Tuhan.
(c) Keterlibatan dan kesetiaan dalam pelayanan terhadap Tuhan dan sesama oleh kasih.

Spiritual Quotient ini sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan. Dengan memahami siapa TUHAN dan siapa diri kita, maka kita akan memiliki sikap yang benar. Kita memiliki sikap takut akan TUHAN dan berharap hanya kepada-Nya, karena Dia adalah sumber segala berkat dan pertolongan kita (Amsal 10:22). Bersandar kepada Tuhan mendatangkan berkat, bersandar kepada manusia mendatangkan laknat (Yer. 17:5-8).

2.2. Intellectual Quotient – IQ

Di samping relasi dengan Tuhan, maka potensi intelek yang Tuhan berikan kepada kita juga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dan seoptimal mungkin (2 Kor. 6:1). Kecerdasan intelek ini dapat ditingkatkan terus melalui beberapa kegiatan berikut:

(a) Memiliki rasa ingin tahu yang besar atas segala sesuatu yang positif, agar dapat menjalankan Amanat Budaya dan Amanat Natural yang diberikan Tuhan kepada kita (Kej. 1:26).
(b) Memiliki ketekunan dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi.
(c) Menganalisasi berbagai situasi dan kondisi dari berbagai segi: Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang atau kesempatan), dan Threat (tantangan)
(d) Mengaplikasikan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.

2.3. Emotional Quotient – EQ

Di samping relasi dengan Tuhan dan kemampuan intelektual, dalam kepemimpinan juga dibutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi. Kecerdasan emosi banyak berkaitan dengan karakter dan relasi dengan sesama rekan sekerja. Ada 5 (lima) hal yang menjadi fokus peningkatan EQ seseorang, yaitu

(a) kesadaran diri (self-awareness) – yaitu sejauh mana seseorang mampu mengenali emosi-emosi yang ada dalam dirinya sendiri
(b) empati (empathy) – yaitu sejauh mana seseorang mampu mengenali emosi orang lain
(c) pengaturan diri (self-regulation) – yaitu sejauh mana seseorang mampu mengendalikan emosi-emosi yang dimilikinya.
(d) ketrampilan bersosialisasi (social skills) – yaitu sejauh mana sese-orang mampu berinteraksi dengan orang lain
(e) motivasi (motivation) – yaitu sejauh mana seseorang dapat memoti-vasi dirinya sendiri dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan.

Kecerdasan emosi ini dapat ditingkatkan terus melalui beberapa kegiatan berikut (Filipi 2:1-5) :

(a) Meningkatkan hidup yang menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23).
(b) Memahami dan belajar menerima kepribadian dan temperamen orang lain yang bekerja sama dengan kita.
(c) Memiliki kepedulian akan kebutuhan dan kepentingan orang lain.

2.4. Adversity Quotient – AQ

Ini adalah kecerdasan yang keempat, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan sikap seorang pemimpin saat menghadapi tantangan, baik tantangan internal maupun eksternal). Ada 3 (tiga) jenis orang berkaitan dengan sikapnya terhadap tantangan:

(1) Quitters – yaitu orang yang menghindari kewajiban, mundur, dan ber-henti; mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan peluang yang ditawarkan oleh kehidupan ini. Orang semacam ini tidak mempunyai visi dan keyakinan akan masa depan.
(2) Campers – yaitu orang yang sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan, namun kemudian mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat (2 Kor. 6:1)
(3) Climbers – yaitu orang yang seumur hidupnya terus mendaki.

Seseorang yang mempunyai AQ tinggi (yaitu respons yang positif terhadap tantangan dan kesulitan) akan menghasilkan hal-hal berikut:

(a) berdaya saing tinggi
(b) tingkat produktivitas yang tinggi
(c) kreatifitas yang tinggi
(d) motivasi yang tinggi
(e) bersedia mengambil resiko
(f) terus mengadakan perbaikan
(g) memiliki ketekunan yang luar biasa
(h) memiliki semangat belajar yang tinggi
(i) bersedia merangkul perubahan

----- 00000 -----

pdt. drs. petrus f. setiadarma, mdiv.

pfs60@hotmail.com

Rabu, 12 September 2007

DI MANAKAH ALLAH
KALA PERISTIWA BURUK TERJADI?


1. Pendahuluan

Tak ada seorang manusia pun yang menghendaki sesuatu yang buruk atau penderitaan menimpa hidupnya. Namun dalam kenyataannya tidak ada seorang manusia pun yang tidak pernah mengalami peristiwa buruk. Berarti yang penting di sini bukanlah bagaimana menghindari penderitaan, melainkan bagaimana menghadapi dan mengatasinya.
Menjadi seorang Kristen pun bukan berarti terbebas dari segala penderitaan, melainkan menang atas segala penderitaan. Mengapa ada orang Kristen yang salah dalam menanggapi penderitaan yang dialaminya? Pertama, karena selama ini ia memperoleh pengajaran yang tidak seimbang. Mengikut Yesus hanya dilihat dari salah satu sisi saja: berkat dan kesenangan. Padahal masih ada sisi lainnya: yaitu menderita bersama Kristus. Kedua, karena sebagai manusia ia masih cenderung mengikuti keinginan daging yang menghendaki kenyamanan. Itulah sebabnya, ketika penderitaan datang, muncul respons yang sangat negatif: mencari kesalahan diri sendiri, kesalahan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan.

2. Respons Manusiawi terhadap Penderitaan

Ketika penderitaan datang, manusia memberikan respons yang beragam. Ketika seseorang menderita, dan dikunjungi oleh sahabatnya, maka mereka memberikan pelbagai tanggapan yang dapat dianalisa sebagai berikut:

(a) Mereka mengatakan bahwa penderitaan itu datang pasti karena yang bersangkutan berbuat dosa;
(b) Mereka mencoba menghalau penderitaan temannya itu dengan keramah-tamahan;
(c) Mereka mendorong agar yang bersangkutan membangkitkan imannya untuk melawan penderitaan yang disebabkan oleh Iblis.
(d) Mereka mendorongnya untuk berterimakasih dan mengasihi Allah karena Allahlah yang menyebabkan penderitaannya itu.
(e) Mereka menyatakan bahwa ia telah dipilih Allah untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus.

3. Makna Penderitaan

Dalam Perjanjian Lama dijelaskan tentang jenis dan makna penderitaan yang dialami oleh umat manusia. Dalam bukunya, A Biblical Approach to Personal Suffering, Walter C. Kaiser, Jr. , menyatakan ada 8 (delapan) bentuk penderitaan:

(a) retributive suffering – penderitaan yang dialami karena dampak keadilan Allah, dan ini merupakan konsekwensi dari pilihan manusia itu sendiri (Ul. 30:19).
(b) educational atau disciplinary suffering – penderitaan yang dialami sebagai bukti kasih Allah yang mendidik anak-anak-nya (Ams. 3:11; bdk. Ibr. 12:7).
(c) vicarious suffering – penderitaan yang dialami karena menggantikan orang lain (Yes. 53:5).
(d) empthatetic suffering – penderitaan yang dialami karena rasa simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian ia bertindak untuk membebaskannya (Yeh. 18:31-32).
(e) doxological suffering – penderitaan yang dialami menjelang kemuliaan yang Allah telah sediakan (Kej. 45:4,5,7; 50:20).
(f) evidential atau testimonial suffering – penderitaan yang dialami untuk membuktikan beberapa prinsip atau sifat Allah, misalnya: Ayub (Ayub 1-2).
(g) relevational suffering – penderitaan yang dialami untuk menambah kedalaman pengenalan manusia akan Allah, misalnya yang dialami oleh Hosea dan Yeremia.
(h) eschatological atau apocalyptic suffering – penderitaan yang dialami umat Tuhan menjelang akhir zaman (Zakh. 13:9).

Perjanjian Baru juga memberitahukan kepada kita tentang makna penderitaan dalam kehidupan kita sebagai murid Kristus:

(a) penderitaan merupakan salah satu aspek panggilan Allah bagi kita – Flp. 1:29
(b) penderitaan merupakan awal kemuliaan – Roma 8:18
(c) penderitaan merupakan wujud ketekunan dan kesetiaan – 2 Tim. 2:3-6; 3:10-12;
(d) penderitaan merupakan wujud meneladani Yesus Kristus – 1 Pet. 2:21
(e) penderitaan merupakan konsekwensi pelayanan – 1 Pet. 5:10

Sementara itu Martin Luther, tokoh Reformator Gereja, dalam tulisannya Treatise on Good Works, menyatakan bahwa penderitaan bisa menyebabkan:

(a) pemurnian iman kita – 1 Pet. 1:5-7
(b) pendewasaan kerohanian kita – Yak. 1:2-4
(c) pemberian kesempatan kepada Allah untuk menyatakan karya-Nya (Yoh. 9: 1-3)
(d) pembentukan kita ke arah gambar dan rupa Kristus – Roma 8:28-29
(e) pembentukan ketekunan dan karakter – Roma 5:3-5

4. Penderitaan Yesus Kristus

Yesus Kristus dikenal sebagai the Man of Sorrow, Manusia yang Penuh Penderitaan. Dengan mengalami hal yang sama yang dialami oleh manusia, maka Ia dapat menolong mereka yang menderita. Hanya saja Ia tidak berbuat dosa (Ibr. 2:18).

Perhatikan beberapa bentuk penderitaan yang dialami-Nya.

(a) kelahiran-Nya di kandang yang hina
(b) penolakan atas diri-Nya, ketika Ia akan memasuki kota-kota tertentu
(c) kesepian, ketika Ia harus seorang diri di Taman Getsemani
(d) pengkhianatan, ketika Yudas Iskariot menyerahkan-Nya
(e) penyiksaan fisik, ketika para tentara Roma menyiksa-Nya

5. Di manakah Allah?

Ketika seseorag mengalami penderitaan, ketahuilah bahwa:

(a) Allah telah ada di sana sejak mulanya, merancang suatu sistem penderitaan yang menyandang meterai hikmat-Nya dan melengkapi kita untuk kehidupan di bumi ini.
(b) Allah telah menuntun kita untuk memantulkan citra-Nya.
(c) Allah telah menggunakan penderitaan untuk mengajar kita, dan mendorong kita untuk melalui itu semua berpaling kepada-Nya. Ia telah siap menolong kita untuk menaklukkannya.
(d) Allah tetap memegang kendali seluruh alam ciptaan ini.
(e) Allah mempersilakan kita untuk berseru kepada-Nya dalam penderitaan itu.
(f) Allah telah mempersatukan diri-Nya dengan penderitaan itu.
(g) Allah telah berjanji untuk memberikan kekuatan supranatural agar kita mampu menanggungnya.
(h) Allah sendiri telah menanggung segala penderitaan itu.
(i) Allah ada di sini beserta kita sekarang, melayani kita oleh Roh Kudus-Nya, dan melalui anggota Tubuh-Nya yang ditugaskan untuk menopang kita.
(j) Allah sedang menunggu saat penggabungan dan kesudahan segala penderitaan itu.


----- 00000 -----






































pdt. drs. petrus f. setiadarma, mdiv.
pfs60@hotmail.com

Selasa, 11 September 2007

TEKNOLOGI DAN IMAN

TEKNOLOGI DAN IMAN
Berseteru Atau Bersekutu

Abstraksi

Allah Pencipta telah menciptakan langit dan bumi ini dengan segala isinya, dan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah diberi-Nya mandat untuk menguasai dan menaklukkan alam ciptaan Tuhan itu.
Patut disayangkan jika kemudian manusia menelantarkan alam ciptaan Tuhan, atau mungkin mengusahakannya namun tanpa perkenanan Tuhan, karena hanya ditujukan untuk kepuasan diri sendiri belaka. Seharusnya manusia mengembangkan diri dan kemampuannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk mengusahakan alam demi kesejahteraan seluruh umat manusia. Belum lagi kemudian terjadi ketegangan antara iman dan teknologi. Dimana seharusnya keduanya dapat seiring sejalan bahkan bias saling berupaya meniadakan.
Alkitab memberikan kepada kita cara bagaimana hidup dalam iman dan tetap belajar mengembangkan dan memanfaatkan teknologi (yang telah terseleksi) bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dan bagi kemuliaan-Nya.

1. Latar Belakang

Manusia hidup dalam dunia yang terus berubah. Perubahan pun terjadi demikian cepatnya, sehingga sering kali tidak tersusul oleh orang-orang yang mau mempelajarinya. Perubahan yang cepat itu dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi adalah penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia untuk mempermudah berbagai kegiatan yang dilakukan, dan pada gilirannya mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Penguasaan atas teknologi menjadi prioritas utama negara-negara maju. Mereka yang menguasai teknologi akan mampu menguasai dunia.
Sementara itu, ada orang-orang percaya (baca: Kristen) yang belum sepakat dalam mempelajari, memahami dan menggunakan teknologi, apalagi memajukan teknologi itu sendiri. Karena teknologi merupakan hasil nalar atau akal budi, maka itu dianggap bertentangan dengan iman. Padahal berbagai pelayanan gereja masa kini banyak didukung oleh hasil perkembangan teknologi: bangunan fisik, bangku dan mimbar, penerangan, alat-alat musik, barang cetakan, sarana presentasi (overhead projector atau LCD), kendaraan, dan banyak lagi yang lain.
Di sisi lain, bagi para teknolog sendiri, iman dipandang sebagai penghambat kemajuan teknologi karena dianggap mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal.
Muncullah pergumulan bahkan ketegangan antara Teknologi dan Iman. Beberapa judul buku klasik karya John William Draper (1811-1882), "History of the Conflict Between Religion and Science,", tulisan Andrew Dickson White (1832 – 1918), "Warfare of Science with Theology in Christendom," dan karya George Burman Foster "Finality of the Christian Religion," (1892) menunjukkan bahwa pergumulan di antara keduanya terus berlangsung.
Tulisan ini dibuat dengan maksud melihat sejauh mana pergumulan itu terjadi dan mencoba menyajikan suatu solusi dalam mengatasi ketegangan tersebut.

2. Selayang Pandang Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)

Untuk dapat memahami ketegangan antara Iptek dan Iman sangatlah bijaksana jika sejenak melihat perkembangan Iptek dan sejauh mana orang-orang Kristen terlibat di dalamnya.
3.1. Zaman Kuno

Sebagai bagian dari kebudayaan, teknologi sama tuanya dengan umur umat manusia. Dalam Kejadian 4:20-22 dapat dibaca nama-nama seperti Yabal, Yubal, dan Tubal-Kain beserta industri dan teknologi yang mereka kuasai, yaitu kemah (teknik sipil dan arsitektur), ternak (teknologi pertanian, peternakan, dan perikanan), kesenian (teknologi penunjang entertainment), dan pertukangan (teknik mesin dan teknik industri).
Bangsa-bangsa Babilonia, Sidon, Mesir purbakala, Sumeria, bangsa Inca (Mexico) telah menghasilkan beragam peralatan teknik atau hasil karya teknologi mereka yang luar biasa, yaitu dalam upaya mereka mengatasi berbagai kesulitan dan tantangan hidup.

3.2. Abad Pertengahan

Pada Abad Pertengahan beberapa eksperimen ilmu pasti dan beraneka teori yang baru mulai dilakukan. Diawali dengan Fransiscus dari Asisi (1182-1226) yang mendirikan Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau Ordo Saudara Hina-dina. Para pengikut ordo ini terdorong untuk menaruh minat terhadap isi dunia ciptaan dan segala keindahannya. Salah seorang imam bernama Roger Bacon (1220-1292) mempersembahkan karyanya Opus Maius (Karya Besar) yang merupakan rangkuman ide-ide ilmiah pada zaman itu.
Khusus mengenai astronomi (ilmu falak), gereja dan orang-orang pada zaman itu memegang teori Geosentris yang dikemukakan oleh Claudius Ptolomeus (± 100-168), dimana bumi menjadi pusat peredaran planet-planet.

3.3.Zaman Modern

Yang dimaksud dengan zaman teknologi modern dimulai pada zaman Renaissance (abad XV dan XVI). Leonardo da Vinci (1452-1519), misalnya, dikenal bukan hanya sebagai seorang seniman dan pemahat, melainkan juga seorang arsitek, insinyur, ahli filsafat dan pandai mengadakan eksperimen di bidang optik, mekanik, dan hidrolik.
Jadi pada zaman itu eksperimen (percobaan) dan penyelidikan memainkan peranan yang penting di dalam iptek. Penemuan-penemuan seperti: teropong bintang, mikroskop, termometer, barometer pesawat bandul, alat-alat anatomi, dan sebagainya, memberi dorongan yang sangat kuat kepada perkembangan iptek. Beberapa ilmuwan terkenal yang hidup pada zaman itu, antara lain: Nicolaus Copernicus (1473-1543), Tycho Brahe (1546-1601), Giordano Bruno (1547-1600), yang mengemukakan ide-ide berkaitan dengan kosmologi (ajaran mengenai segala sesuatu yang dapat diketahui tentang alam semesta, khususnya tentang terjadinya.
Iptek menjadi semakin berkembang karena Francis Bacon (1561-1626), seorang negarawan Inggris dan pelopor filsafat Empirisme menyatakan, “Pengetahuan adalah kekuatan!” Ia berpendapat bahwa satu-satunya dasar pengetahuan ialah pengalaman indera saja.
Tokoh yang paling menonjol dan akhirnya mendobrak kosmologi kuno adalah Galileo Galilei (1564-1642). Tulisan-tulisannya mengenai astronomi mendapatkan pertentangan dari pimpinan Gereja saat itu. Selanjutnya, Renè Descartes (1596-1650) menulis buku La Monde di mana untuk pertama kalinya seseorang mencoba menerangkan alam semesta dengan istilah-istilah ilmu mekanika. Descartes mampu mendamaikan teologia saat itu yaitu teologi Thomas Aquinas dengan ide-ide mekanis ilmu pengetahuan yang baru.
Kemudian muncullah E. Toricelli (1608-1647) yang terkenal karena penyelidikannya mengenai barometer (alat pengukur berat tekanan udara). Kemudian alat ini berkembang menjadi termometer yang disempurnakan oleh G.D. Fahrenheit (1686-1736). Ada pula nama Robert Boyle (1627-1691) di bidang kimia-fisika. Ilmuwan terkenal Isaac Newton (1642-1727) menjadi berkat bagi dunia dengan Teori Gravitasinya. Ia adalah seorang Kristen yang taat beribadat, dan mempergunakan waktu yang sama banyak untuk teologi seperti untuk ilmu pengetahuan. Keteraturan alam semesta ini merupakan bukti keberadaan dan kebaikan Tuhan. Tokoh lainnya adalah G.W. Leibniz (1646-1716) sebagai ahli sejarah, hukum, bahasa, ilmu pasti dan alam, teologi dan filsafat.
Pada abad XVII dan XIX menyusul adanya kerjasama yang erat antara ilmu pengetahuan alamiah dan teknologi yang menelorkan apa yang disebut “Revolusi Industri yang pertama”, di mana di sana muncul nama-nama terkenal seperti:

· Leonhard Euler (1707-1783), seorang ahli ilmu pasti, alam dan astronomi. Sekalipun ia menjadi buta, namun tetap aktif dalam hampir semua lapangan ilmu pasti.
· James Watt (1736-1819) pembuat peralatan teknik dan konstruksi mesin, penemu mesin uap.
· A.L. Lavoisier (1743-1794) yang membuktikan bahwa oksigen memegang peranan penting dalam pembakaran
· John Dalton (1766-1844) meletakkan dasar untuk teori atom modern dan merumuskan beberapa hukum dasar dalam ilmu kimia.
· André Ampère (1775-1836) yang menekuni arus listrik
· Michael Faraday (1791-1867) yang berasal dari kelompok yang percaya akan setiap perkataan dalam Alkitab secara harafiah, sehingga ia mendekati semua hal secara lurus dan sederhana.
· J.C. Maxwell (1831-1879) yang mengemukakan teori-teori sifat fisika atom.

Memasuki abad XX dan seterusnya terus terjadi penemuan-penemuan yang luar biasa, antara lain:

· Thomas Alva Edison (1847-1931) penemu lampu pijar
· Wilbur Wright (1867-1912) bersama saudaranya, Orville Wirght, yang menekuni masalah penerbangan
· Albert Einstein (1879-1955) yang menciptakan teori relativitas yang merupakan dasar dari Teori Kwantum. Pada tahun 1921 ia menerima hadiah Nobel.
· Dan seterusnya iptek terus berkembang sebagaimana dapat dirasakan manfaat sekaligus bahayanya di abad XXI ini.

3. Faktor-faktor Keagamaan dalam Revolusi Ilmiah

Dalam masa antara abad XII dan XVII terjadi serangkaian kejadian penting bersamaan dengan munculnya akelompok-kelompok para pemikir yang luar biasa. Masa itu benar-benar adalah masapenyelidikan dan penemuan di segala bidang: secara geografis, intelektual, sosial dan Perhatian positif pada kodrat dan martabat manusia.
Pada awal Abad Pertengahan teknologi dan kehidupan kebudayaan dari kaum ningrat dan biarawan diperluas kepada kaum warga kota biasa. Pemikiran tajam golongan pedagang memajukan sikap rasional dan kritis, lepas dari kebiasaan yang dipertahankan oleh kalangan kaum priyayi dan birokrat. Memang semua faktor itu terdapat pula dalam kebudayaan-kebudayaan lain sebelumnya: di Tiongkok atau di Yunani atau pad amasa jaya kebudayaan Islam. Sekalipun demikian, tidaklah terjadi revolusi ilmu pengetahuan dalam lingkungan kebudayaan tersebut. Kenyataan ini mendorong para sarjana mempertimbangkan kemungkinan pengaruh Kekristenan pada fajar ilmu pengetahuan itu. Meskipun tidak semuanya, namun banyak di antara para sarjana berpendapat bahwa pengaruh Kekristenan ini merupakan faktor yang menentukan.
Kala itu, Gereja mengambil sikap ragu-ragu terhadap munculnya ilmu pengetahuan. Lama Gereja berpegang teguh pada ajaran Agustinus dari Hippo, yang berpendapat bahwa ilmu tidak boleh dikejar demi ilmu itu sendiri saja, melainkan harus demi kemuliaan Allah dan demi pengabdian kepada ilmu teologia. Tetapi perguruan-perguruan yang didirikan oleh Kaisar Karl Agung (742-814) pada abad IX dan pertumbuhan biara-biara menyebabkan agara Kristen mulai mencari segi-segi positif pengajaran klasik (yaitu Yunani dan Romawi) dan sikap-sikap yang menyertainya. Di bagian dunia Kristen Timur, pemikiran Yunani kuno itu diintegrasikan dengan pelajaran Kristen di sekolah-sekolah dan dihubungkan dengan Ibadat Ilahi dan Kebijaksanaan Allah. Karena alasan-alasan teologis dan politis, cara pendekatan ini tidak diterima di dunia Barat. Maka tradisi Byzantium ini mula-mula tidak diperhatikan dan kemudian karena kemenangan bangsa Turki, akhirnya hilang.
Tetapi dalam masa yang Revolusi Ilmiah ini, beberapa tradisi kalangan Gereja Ortodoks sampai juga ke dunia Barat. Yang lebih penting ialah bahwa Akibat kemajuan intelektual golongan Islam, para sarjana Barat terpaksa memberikan Perhatian kepada segi-segi positif tradisi Yunani ini. Pada abad XII universitas-universitas Islam di Spanyol telah mulai menentukan irama kemajuan perguruan dan membela agama. Ini merupakan tantangan bagi umat Kristiani. Pendirian universitas-universitas Kristen dan berdirinya Ordo Dominikan merupakan bagian jawaban Gereja terhadap tantangan ini. Hasilnya adalah karya Thomas Aquinas yang mengambilalih superioritas para sarjana Islam dengan “menasranikan” Aristoteles. Dan pada waktu filsafat Aristoteles diassimilasikan di kalangan sarjana Kristen, filsafat itu dipandang sebagai bidat.
Di satu pihak usaha sarjana Kristen berhasil memulihkan integritas intelektual agama Kristen, dan di lain pihak menjelaskan dan sekaligus membatasi kedudukan dan peranan akal budi dan pemikiran. Pembedaan jelas antara pikiran dan wahyu, pemberian peran pada akal budi dan devosi dalam perumusan kembali iman dan tekanan bahwa Allah bertindak secara “masuk akal”, semuanya itu memungkinkan timbulnya gerakan ilmiah yang tak mungkin terwujud sebelumnya. Itu semua adalah sumbangan buah pikiran Thomas Aquinas yang sangat berharga dan menentukan. Ia terutama menegaskan kembali ajaran mengenai Penciptaan menurut pengertian Kristen. Ia mempertemukan gagasan Penggerak Utama (menurut Aristoteles) dengan gagasan Allah dan Bapa Yesus Kristus. Hal ini membangkitkan kembali minat Kristiani akan susunan dan tatatertib dalam alam semesta.
Ajaran mengenai Penciptaan (yang disejajarkan lagi dengan Penebusan) mengandung pengertian bahwa alam dapat dimengerti, tunduk kepada hukum-hukum dan serba teratur. Hal ini menjadi salah satu patokan ilmu pengetahuan modern yang tidak dipersoalkan lagi. Pandangan ini menyatakan pula bahwa rincian Penciptaan hanya dapat diketahui dengan mengamatinya, - sesuatu yang diakui oleh Aristoteles, tetapi tidak oleh para pemikir klasik sejamannya. Sekali lagi, ajaran mengenai Penciptaan – sebagaimana disajikan oleh imam-imam Fransiskan mengandung suatu sikap positif terhadap dunia ciptaan Allah. Berbeda dengan abad-abad sebelumnya yang mementingkan dunia akhirat saja, karena hidup ini adalah jorok, jahat dan pendek, suasana iman yang baru ini mengakui bahwa semua yang diciptakan Allah adalah baik, kecuali dosa yang dilakukan manusia.
Memang, kesalahan mengingkari diri tetap dipertahankan dan kematian, pengadilan di hari akhirat, sorga dna neraka tetap merupakan hal-hal yang menarik perhatian banyak orang. Hal ini dinyatakan dalam lukisan-lukisan karya Michaelangelp dan Grünewald. Tetapi peranan manusia dalam penciptaan, seperti dipaparkan dalam pasal-pasal pertama Kitab Kejadian, kini dipandang sama pentingnya dengan kisah dosa pertama. Selanjutnya dengan timbulnya kembali minat akan Kitab Suci yang sejalan dengan penemuan kembali Perhatian Gereja terhadap studi, timbul pula penghargaan baru atas kehendak Allah yang dinamis. Thomas Aquinas sudah mengemukakan hal ini dalam ajarannya mengenai Allah selaku Penyebab Pertama. Tekanan yang diberikannya pada rencana ilahi dalam penciptaan, menggerakkan manusia untuk melepaskan diri dari sikap takdir yang juga hidup di kalangan umat Kristen sebelumnya. Pengaruh semacam itulah yang memungkinkan timbulnya gerakan baru.
Banyak ahli sejarah mencatat perkembangan nasinalisme, bertambah kuatnya golongan menengah dan sistem kapitalisme yang membantu pertumbuhan ilmu pengetahuan, sebagai Akibat-akibat pengaruh Reformasi. Tentu saja Reformasi merupakan salah satu faktor penting yang mendorong gagasan-gagasan berpikir independen yang tidak selalu sejajar dengan pandangan dunia yang resmi sebagaimana dituntut oleh hirarki Katolik. Hal ini memupuk kepentingan-kepentingan nasional, dan dengan demikian mendorong usaha-usaha industri dan juga riset-riset ilmuiah yang didukung oleh gengsi nasional.
Banyak sarjana Inggris yang aktif pada akhir abad XVI dan permulaan avad XVII adalah pendeta-pendeta. Keleluasaan para pejabat Gereja untuk melibatkan diri dalam persoalan-persoalan umum dan filsafat abad XVII, menyebabkan mereka mampu mendalami filsafat alam yang baru dan rangk apemikiran rasional dari Descartes dan Newton. Dorongan ke arah ilmu pengetahuan dan teknologi yang diberikan oleh tokoh-tokoh Gereja ini memperispkan “dasar” kebudayaan yang memungkinkan timbulnya pengertian baru.
Di antara Gereja-gereja Calvinis, pandangan etis menekankan pekerjaan sebagai suatu hal yang baik bagi manusia. Pekerjaan duniawi lebih dipuji dari pada panggilan masuk biara, dan pentingnya kesejahteraan masyarakat sangat ditekankan. Orang Kristen didorong memuliakan Allah dengan bekerja secara jujur serta rajin, banyak menabung dan bermurah hati dalam mengabdi dengan kekayaan, waktu dan kepandaiannya. John Wesley (1702-1791) – seorang pendeta Gereja Anglikan yang mendirikan gerakan Gereja Methodis merumuskan sikap ini dengan motto: “Peroleh segala yang kamu dapat peroleh, tabung segala yang dapat kamu tabung, berikan segala yang dapat kamu berikan!” Hal ini merupakan benih-benih baik bagi semangat berusaha (entrepreneurship) dalam bidang ekonomi maupun bagi kesejahteraan masyarakat. Usaha ilmiah menunjukkan tanda-tanda keutamaan tersebut dan karenanya dianggap sesuatu yang terberkati. Usaha itu menyatakan hasil buah karya Allah dan meningkatkan hal-hal yang baik pada umat-Nya. Maka manusia dapat mengerti Allah dari alam, karena alam adalah Sebagian dari wahyu Allah kepada manusia.
Dalam kalangan kaum beriman pada masa Rasionalisme, akal budi manusia dipandang sebagai pemberian Allah yang terbesar kepada manusia yang membuat manusia mampu “ikut memikirkan buah pikiran Allah” serta mengambil bagian dalam keilahian-Nya. Pengaruh agama Kristen terhadap kebudayaan yang menjadi dasar tumbuhnya ilmu pengetahuan modern bengitu nyata.
Penyelidikan alam adalah suatu kewajiban Kristiani yang positif. Dalam surat wasiatnya, Robert Voyle mengharapkan agar semua anggota Royal Society mencapai “suatu sukses dalam usaha-usaha mereka yang luhur untuk menemukan kodrat karya Allah yang benar, dan saya mendoakan agar mereka dan orang-orang lain yang menyelidiki kebenaran-kebenaran fisika dengan hati ikhlas dakan menghubungkan hasil-hasil kepandaian mereka dengan kemuliaan Sang Pencipta alam dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Sekalipun benar bahwa kadang-kadang Gereja Menentang revolusi ilmiah – kadang-kadang bahkan dengan kekerasan – harus pula diakui, bahwa Kekristenan berjasa besar dalam membentuk sikap dan anggapan yang memungkinkan timbulnya revolusi ilmu pengetahuan itu. Hendaknya diingat, bahwa hampir semua orang yang terlibat dalam revolusi itu adalah orang-orang yang beriman!

4. Teknologi Atau Iman: Perseteruan

Ilmu pengetahuan dan Teknologi berkembang lepas dari Iman (baca: Firman Allah) melalui beberapa tahap:

Pertama, di bidang astronomi dan fisika. Pada abad XVII Galileo dan Kepler menemui persamaan-persamaan antara bumi dengan planet-planet, bulan dan matahari, misalnya peredaran planet yang berbentuk lingkaran tak sempurna dan pegunungan di permukaan bulan. Sebenarnya penemuan ini tidak bertentangan dengan Alkitab, tetapi menentang filsafat Yunani kuno yang mendasari theologia gereja pada masa itu. Hasil pengamatan ilmiah tidak memadai dengan kepercayaan umum. Perselisihan ini merupakan masalah intelektual.
Perselisihan tahap kedua terjadi pada abad XVIII yaitu dalam ilmu pengetahuan alam, teristimewa dalam geologi dan biologi. Hutton, Charles Lyell dan Charles Darwin mengajukan hipotesa bahwa alam senantiasa berubah secara berangsur-angsur. Tetapi motivasi mereka bukan lagi masalah intelektual melainkan moral. Mereka mencari-cari teori-teori yang bertentangan dengan Alkitab. Zaman Es menggantikan Air Bah, Evolusi menggantikan Penciptaan.
Perselisihan tahap ketiga terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX, terutama pada psikologi, sosiologi, dan antropologi. Jurang perbedaan dengan keterangan Alkitab sudah sedemikian lebar sehingga para sarjana tidak merasakan perselisihan lagi. Alkitab sudah dianggap tidak bermakna.
Tahap keempat dimulai sejak Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia I, para sarjana mengusahakan pendidikan di seluruh dunia, dengan keyakinan bahwa pendidikan yang baik dapat menghilangkan peperangan dari seluruh permukaan bumi. Alasannya adalah:

· pecahnya perang menandai bahwa filsafat dasar mereka keliru;
· faktor kebohongan para sarjana bertambah jelas;
· bertambahnya penemuan-penemuan baru yang tidak sesuai dengan Darwinisme, sehingga banyak sarjana dari pelbagai bidang mulai membuang Teori Evolusi.

Jika sebelum perang hanya para teolog yang Menentang Evolusi, berdasarkan kebenaran Alkitab. Tetapi sejak Perang Dunia II justru para ilmuwan yang memasuki medan pertempuran sains, dengan meyakini kebenaran Sabda Allah.
Perselisihan babak kelima berlangsung pada masa kini. Selama 40 tahun terakhir banyak penemuan menuntut pemulihan dasar di segala bidang ilmu pengetahuan. Di bidang psikologi-klinis, misalnya, ada suatu gerakan kembali kepada prinsip-prinsip yang sesuai dengan Alkitab. Beberapa kesimpulan filsafat ilmu komputer dan penemuan biokimia tentang replikasi sel manusia, binatang, tumbuhan, menunjukkan kemustahilan Evolusi. Di bidang geologi, penyusutan kekuatan medan magnetis bumi membuktikan bahwa bumi ini sangat muda, tidak melebih 20.000 tahun.
Jika tidak mencermati dengan baik, di balik manfaatnya yang besar, ada cerminan kuasa dosa dan kejahatan dari perkembangan teknologi. Verkuyl telah mengamati beberapa di antaranya, yakni:

(1) Pembalikan urutan alat dan tujuan. Teknologi termasuk alat bukan tujuan! Di bidang teknologi layak dipertanyakan: sebab apa dan untuk apa teknologi itu. Tetapi salah satu hal yang aneh di dalam perkembangan teknologi modern adalah, bahwa manusia hampir lupa kepada pertanyaan tersebut. Contoh yang jelas adalah perkembangan teknik nuklir. Penemuan tenaga atom adalah suatu penemuan yang hebat. Sam apentingnya dengan penemuan api oleh manusia purba. Tetapi jika di dalam penggunaan tenaga nuklir itu kita tidak bertanya, “Untuk apa tenaga itu akan kita pergunakan?” maka tenaga nuklir itu akan menjadi alat yang dipergunakan manusia untuk menghancurkan diri sendiri.
(2) Menetralkan atau meniadakan kepribadian. Segala sesuatu yang serba otomatis akibat perkembangan teknologi secara tidak langsung membuat manusia meniadakan kepribadiannya. Teknologi memupuk manusia yang terdorong oleh nafsu untuk hidup tanpa sakit, tanpa kesusahan, tanpa pergumulan, tanpa tanggung jawab, tanpa keputusan-keputusan pribadi.
(3) Teknologi menjadi alat kolektivisme dan totaliterisme. Tanpa pernah dipikirkan sebelumnya, perkembangan teknologi memberi kesempatan yang besar kepada sistem-sistem politik totaliter untuk berkembang dengan pesat. Dalam sejarah dunia, tokoh totaliter seperti Adolf Hitler memonopoli segala alat-alat teknik komunikasi seperti: radio, pers, filem, telepon, telegraph, dan sebagainya. Bahkan dinubuatkan bahwa Antikris akan menggunakan peralatan berteknologi tinggi selengkapnya untuk menindas manusia.
(4) Menciptakaan keadaan tak bernorma. Ini telah terbukti dimana teknologi audio telah menciptakan dunia hiburan yang tak bermoral. Asal orang berani membayar tinggi, tidak peduli apakah berdampak baik atau tidak, maka peralatan canggih berteknologi tinggi itu pun digunakan.

5. Teknologi Dan Iman: Persekutuan

Albert Einstein menyatakan, “Faith without science is blind, and science without faith is cripple.” Itu berarti bahwa baik Teknologi maupun Iman keduanya amat penting dan berguna dalam hidup ini. Keduanya tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Alkitab sendiri menyatakan bahwa kepada manusia Tuhan Allah memberikan mandat budaya dan mandat natural untuk menguasai alam ciptaan Tuhan dan menaklukkannya (Kejadian 1:27-28).



Alkitab menyatakan kepada kita beberapa tuntunan yang jelas tentang Teknologi:

(1) Teknologi adalah Tugas. Ia adalah tugas yang diberikan Allah Pencipta langit dan bumi, jadi juga tugas yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat dunia. Orang yang melakukan suatu penemuan, ia pun taat, dengan sadar atau pun tidak, kepada tugas yang dapat dibaca dari Kejadian 1 berbunyi, “Taklukkanlah bumi!” Dan para pengguna penemuan-penemuan teknologi itu juga taat, dengan sadar atau pun tidak, kepada tugas itu.
(2) Teknologi dan Moral. Setiap orang percaya dapat menggali dan mempergunakan teknologi dengan taat dan bertanggung jawab kepada norma-norma Allah. Penyalah-gunaan teknologi dapat ditahan oleh penggunaan teknologi secara positif sesuai dengan norma-norma Tuhan dan dengan perjuangan memberantas penyalahgunaan teknologi.
(3) Teknologi dan Mukjizat. Alkitab menyatakan bahwa Alkitab masih bisa berlangsung karena kuasa-Nya tidak berubah (Ibrani 13:8). Di mana suatu ketika teknologi tidak mampu memberikan penyelesaian, maka setiap orang percaya tetap berharap kepada Allah yang hidup untuk menyatakan mukjizat-Nya.

Untuk lebih memantapkan relasi antara Teknologi dan Iman, penulis mencatat bahwa di abad XX yang lalu beberapa ilmuwan terkenal, peraih hadiah Nobel adalah orang-orang Kristen yang luar biasa, mereka antara lain:

· Dorothy Hodgkin, kristallografer Inggris, peraih Nobel
· Charles Coulson, pakar fisika matematika terkenal
· Sir Robert Boyd, perintis bidang fisika sinar X atmosfir atas
· Werner von Braun, bapak program ruang akasa Amerika
· Francis Collins, penemu gen sistik fibrosis
· Allan Sandage, astronom terkenal di Observatorium Mt. Palomar

6. Solusi

Agar ketegangan tidak terus terjadi antara Teknologi dan Iman, penulis mengusulkan beberapa langkah praktis sebagai berikut:

(1) Teknologi dan Iman diperkenalkan kepada anak-anak sedini mungin, baik dalam keluarga, sekolah, lingkup pelayanan gereja atau di masyarakat luas, agar mereka melihat keduanya sebagai dua hal yang saling melengkapi.
(2) Mencetak bahan-bahan literatur tentang tokoh-tokoh Kristen yang menjadi penemu-penemu dalam iptek seperti Sir Isaac Newton, Blaise Pascal, dsb.
(3) Berbagai bentuk pembinaan iman kepada jemaat, termasuk khotbah (baik di Sekolah Minggu, Pemuda Remaja maupun Umum) diisi materi yang seimbang antara iman dan iptek.
(4) Mendorong dan mendukung jemaat yang memiliki kemampuan intelektual yang baik untuk bisa terus belajar, baik berupa beasiswa maupun kemudahan lainnya.
(5) Mendatangkan pakar iptek untuk memberikan seminar tentang iptek dalam bahasa yang mudah dicerna oleh jemaat awam.
(6) Memberikan tuntunan moral Alkitabiah yang terus menerus agar ketika Teknologi dikuasai dengan baik, tidak digunakan untuk kebanggaan diri dan bersifat destruktif, melainkan untuk memuliakan Tuhan dan bersifat konstruktif.
7. Kesimpulan

Ketegangan antara Iman dan Teknologi itu kadang-kadang memang memberatkan orang-orang beriman, akan tetapi ketegangan ini sekaligus merupakan stimulans atau dorongan untuk memikirkan lebih mendalam lagi arti wahyu ilahi, yang bukan sekedar merupakan huruf-huruf mati, melainkan Sabda Allah yang hidup dan menghidupkan segala zaman.
Dalam pembangunan modern, agama (baca: Kekristenan) diharapkan memainkan peranan positif. Sumbangan itu hanya mungkin bila setiap orang percaya dapat meninggalkan pandangan dunia (worldview), kebiasaan dan struktur sosiologis zaman dahulu yang tidak memadai lagi. Hal ini tidak berarti meninggalkan iman, melainkan menghayati iman yang tetap sama dalam bentuk, perwujudan, cara-cara yang sesuai bagi manusia abad XXI. Jika Kekristenan berhasil menjalankan perannya itu, ia dapat memberi sumbangan yang sangat berharga: membina manusi ayang bertanggung jawab secara etis dan karena itu mampu menggunakan hasil iptek sehingga semua manusia dapat hidup dengan lebih baik.

8. Daftar Pustaka

---, Agama dan Ilmu-ilmu Pengetahuan, (saduran dari Wilkes, Keith. Religion and the Science),
Yayasan Cipta Loka Caraka dan Yayasan Perguruan Tinggi Katolik, 1977.
---, Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1999.
Carson, D.A. dan John D. Woodbridge (ed.), God And Culture, Jakarta: Momentum, 2002.
Heath, W. Stanley, Faith And Science, Diktat Kuliah, Bandung: Institut Alkitab Tiranus, 1990.
Schaeffer, Francis A. A Christian World View, Vol. 5: A Christian View of the West, Wheaton,
Illinois: Crossway Books, 1993.
Verkuyl, J. Etika Kristen: Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

pdt. drs. petrus f. setiadarma, mdiv.
pfs60@hotmail.com

ETIKA PELAYANAN

ETIKA PELAYANAN


I. Pendahuluan

Bagi seorang yang telah mengalami kelahiran baru di dalam Yesus Kristus, hidupnya tidak akan lepas dari apa yang disebut pelayanan. Pelayanan menjadi life style, gaya hidup, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Setiap orang percaya dipanggil untuk melayani (Galatia 5:13).
Penggalangan kaum awam untuk melayani memiliki dasar yang kuat dalam Alkitab. Pelayanan bukan hanya monopoli hamba-hamba Tuhan yang menyerahkan segenap hidupnya melayani purna waktu (fulltime) melainkan juiga milik jemaat awam (1 Petrus 2:9). Yang dibutuhkan disini adalah bagaimana kaum awam tersebut dilengkapi agar pelayanannnya mendukung pelayanan hamba-hamba Tuhan, dan bukan menghambat. Salah satu hal yang seyogyanya dipahami oleh para pelayan Tuhan adalah etika pelayanan, yaitu sikap yang baik dan benar sebagai pelayan Tuhan terhadap Tuhan yang dilayani, terhadap manusia, dan terhadap sistem pelayanan yang ada.

II. Sikap Terhadap Tuhan

Untuk dapat memiliki sikap yang baik dan benar terhadap Tuhan, seseorang harus mengenal-Nya dengan baik sesuai dengan pernyataan Alkitab itu sendiri. Pengenalan ini tidak hanya didasarkan pada pengetahuan teoritis melainkan juga melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sikap Yesaya dalam pelayanannya sebagai nabi berubah ketika ia melihat Tuhan dalam suatu penglihatan yang maha dahsyat (Yes. 6:1-8). Sikap kita terhadap Tuhan dan pelayanan yang dipercayakan-Nya kepada kita akan berubah jika kita lebih mengenal-Nya. Dalam bukunya Knowing God, J.I. Packer memaparkan tentang Diri Allah , sifat-sifat-Nya, tentang rencana dan karya-karya-Nya.
Beberapa sikap kita sebagai pelayan Tuhan terhadap Dia, Kepala Gereja, antara lain :
1) Mengagungkan dan meninggikan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam ibadah maupun dalam hidup sosial kemasyarakatan.
2) Bersyukur atas segala karya-Nya dalam hidup kita dengan percaya akan kasih-Nya yang pasti mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Kedewasaan rohani seseorang dapat dilihat dari sikapnya ketika menghadapi berbagai warna kehidupan yang Tuhan ijinkan terjadi.
3) Bersedia hidup dalam ketaatan akan perintah-perintah-Nya sebagai tanda kasih kepada-Nya (Yoh 14:15)
4) Hidup dalam kerendahan hati di hadapan Tuhan dengan menyadari bahwa segala kemauan dan kemampuan kita dalam pelayanan adalah pekerjaan Allah sendiri (2 Kor 3:5; Fil 2:13).
5) Bersedia terus menerus diperbaharui oleh Roh Kudus (Efs 4:21-24), dengan terus menjaga kemurnian hati (1 Tim 1:18).

III. Sikap terhadap Tugas PElayanan.

Banyak orang keliru dalam memandang setiap tugas pelayanan yang dilakukannya. Ada yang menganggapnya begitu sepele sehingga tidak pernah serius melakukannya. Pelayanan dianggap sebagai sambilan dan pengisi waktu luang belaka. Ada pula yang melihat pelayanan sebagai ibadah formal keagamaan yang kaku sehingga cenderung merupakan beban. Beberapa sikap terhadap tugas pelayanan yang dikehendaki Tuhan antara lain :
1. Tugas pelayanan harus dipandang sebagai kepercayaan yang dianugerahkan Allah kepada kita (Kol 1:25)
2. Tugas pelayanan yang dipilih disesuaikan dengan talenta dan karunia Roh yang kita miliki; tak ada pelayanan yang tidak penting di hadapan Tuhan, semuanya penting dan saling melengkapi.
3. Sikap penuh disiplin dan setia terhadap tugas pelayanan yang dipercayakan sangat dihargai Tuhan (Mat 25:23).
4. Sikap menyeimbangkan pelayanan dengan karier dan keluarga juga harus diperhatikan; pelayanan tidak boleh menjadi alasan dan dikambinghitamkan untuk menutupi kekurangan dalam penanganan karier dan keluarga.
5. Sikap percaya bahwa setiap pelayanan yang kita lakukan tidak akan sia-sia selama kita melakukannya dengan hati yang mengasihi Tuhan (1 Kor 15:58); pelayanan kita bisa menjadi berkat bagi orang lain, dan kepada kitapun Allah telah menyediakan mahkota kebenaran (2 Tim 4:8)

IV. Sikap terhadap Rekan Sepelayanan

Sebagai anggota tubuh Kristus kita harus menyadari peran kita dan juga peran rekan sepelayanan lainnya. Dalam Alkitab dicatat adanya pelayanan yang kurang harmonis dalam kebersamaan karena ada motivasi yang kurang murni dalam melayani.
Beberapa diantaranya adalah :

v Jemaat Korintus yang senang membentuk kelompok-kelompok; kelompok Kefas/Petrus, kelompok Apolos, kelompok Paulus, kelompok Kristus, sehingga tidak ada kesatuan (1 Kor 1:10-17).
v Motivasi dari beberapa pemberita Injil yang justru bermaksud memperberat pemenjaraan Rasul Paulus. (Fil 1:17)
v Motivasi pelayanan untuk lebih menyenangkan hati manusia daripada hati Tuhan (Galatia 1:10)

Oleh sebab itu kita harus memiliki sikap yang baik dan benar terhadap rekan sepelayanan kita, yakni :

1. Menghargai sesama rekan sepelayanan, apapun profesinya dan apapun bentuk pelayanannya, bahkan yang satu menganggap yang lain lebih utama (Fil 2:1-4)
2. Mempunyai sikap saling membutuhkan baik dalam saling tukar menukar informasi, saling mendoakan, saling menolong dan memberi penghiburan (Gal 6:2)
3. Mau bersikap terbuka tanpa takut terluka dalam menyelesaikan masalah yang timbul dalam pelayanan; bersedia mengakui kesalahan dan meminta maaf, dan juga bersedia mengampuni mereka yang bersalah.
4. Bersikap mau menegur dalam kasih apabila melihat atau mendengar ada rekan sepelayanan yang menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan (Amsal 28:23)

V. Sikap terhadap Organisasi dan Pemimpin Rohani

Demi tertibnya pelayanan dalam gereja Tuhan dibutuhkan adanya aturan organisasi. Hal ini tidak berarti mempersempit karya Roh Kudus atau bersifat duniawi, melainkan justru mendatangkan ketertiban asalkan tetap berazaskan Alkitab. Alkitab sendiri menghendaki segala sesuatunya berjalan dengan tertib (1 Kor 14:33, 40), bahkan Roh Kudus adalah Roh yang mendatangkan ketertiban (2 Tim 1:7)
Dalam organisasi yang baik biasanya ada orang-orang yang ditempatkan dalam struktur organisasi yang bertanggungjawab atas pelayanan yang dipercayakan kepadanya secara organisatoris. Seringkali dijumpai adanya miskomunikasi antara pemimpin ini dengan rekan sepelayanan yang dibinanya. Untuk itu perlu diperhatikan panduan berikut :
1. Menghormati pemimpin yang telah ditetapkan Allah (1 Tim 5:17). Daud yang terus dikejar-kejar oleh Raja Saul tetap menghormatinya sebagai raja Israel sampai Allah sendiri berurusan dengan dia.
2. Mau berbicara dengan terbuka akan berbagai kebijakan dalam pelayanan sesuai dengan status anak-anak terang. Sama sekali tidak dibenarkan adanya tehnik-tehnik adu domba, agitasi dan intimidasi, surat kaleng, dan sebagainya.
3. Usul-usul peningkatan pelayanan yang baik dapat disampaikan menurut tata tertib gereja yang ada
4. Promosi ke tingkat kepemimpinan harus dilakukan dengan tertib yang ada, penuh kerendahan hati dengan memahami waktu Tuhan (Pengkhotbah 3:11), dan rela mengalami penolakan seperti halnya Samuel (1 Sam 12:23).
5. Memahami pentingnya regenerasi dalam pelayanan secara struktural, agar menghasilkan atmosfer pelayanan yang sehat.

VI. Penutup.

Dengan telah dipahaminya prinsip-prinsip etika pelayanan dalam pelajaran ini tidak secara praktis menjadikan kita langsung melayani tanpa cacat. Kita masik akan masuk dalam pemroses hidup yang cukup panjang dalam pelayanan. Roh Kuduslah yang menjadi Penolong kita. Setidaknya dengan panduan etika pelayanan ini kita bisa lebih mengadakan koreksi dan evaluasi secara jujur di hadapan Tuhan & manusia. Akhirnya, “....mereka yang melayani dengan baik beroleh kedudukan yang baik sehingga dalam iman kepada Kristus Yesus mereka dapat bersaksi dengan leluasa.” (1 Tim 3:13)

pdt. drs. petrus f. setiadarma, mdiv.
pfs60@hotmail.com

MOTIVASI PELAYANAN

MOTIVASI PELAYANAN


1. Pendahuluan

Ketika kita menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, pada saat itu juga sebenarnya kita berkomitmen untuk menjadi hamba kebenaran, yaitu menyerahkan tubuh kita menjadi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah (Gal. 5:13; Roma 6:18; 12:1). Itu berarti kita harus memiliki motivasi yang benar untuk melayani.

2. Makna Pelayanan menurut Alkitab

Secara etimologi, kata “pelayanan” memiliki makna yang amat kompleks. Dalam bahasa Yunani digunakan beberapa istilah, yaitu:

(1) doulow (douloo) – melayani sebagai hamba (budak!). Pada zaman PB, seorang budak dapat dibeli atau dijual sebagai komoditi. David Watson menyatakan: “Seorang budak adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri. Dalam ketaatan penuh kerendahan hati ia hanya bisa berkata dan bertindak atas nama tuannya. Dalam hal ini tuannya berbicara dan bertindak melalui dia”. Benar-benar tak berdaya. Sebagai orang percaya, kita sekalian adalah orang-orang yang telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba (doulos) kebenaran (Roma 6:18), menjadi hamba Allah (Roma 6:22).
(2) diakonew (diakoneo) – melayani sebagai pelayan dapur, yang menantikan perintah di sekitar meja makan (Mat. 8:15; Efs. 4:12). Ini bukan pekerjaan yang menyenangkan, karena seringkali ia akan menerima dampratan dari orang yang merasa kurang puas dilayani. Dalam arti luas kata ini menyatakan seseorang yang memperhatikan kebutuhan orang lain, kemudian berupaya untuk dapat menolong memenuhi kebutuhan itu. Orang bisa saja bekerja sebagai budak (doulos) dan tidak menolong seorangpun; tetapijika ia seorang diakonos, ia berkaitan erat dengan upaya menolong orang lain (Luk 22:27; Yoh. 12:26; ! Tim. 3:13)
(3) uphrethV (hyperetes) – melayani sebagai bawahan terhadap atasannya. Duane Dunham menyatakan bahwa seorang hyperetes adalah seorang yang segera memberi-kan tanggapan dan tidak banyak tanya tentang tugas yang dipercayakan kepadanya. Dalam bidang pelayan ia adalah seorang kelasi kapal. Dalam Kisah 24:13 kita melihat sahabat-sahabat Paulus bertindak selaku hyperetes terhadap Paulus, yaitu menolong hamba Tuhan lain agar pelayanan-nya menjadi lebih efektif.
(4) litourgikoV (litourgikos) – melayani orang lain di depan publik (Kisah 13:2). Pelayanan ini dilakukan kepada sejumlah orang pada saat yang bersamaan, sehingga harus direncanakan dan terus ditingkatkan

Jadi setiap pelayan Tuhan adalah: seorang hamba (budak) Kristus (doulos), seorang pelayan yang selalu rindu menolong orang lain dalam memenuhi kebutuhannya (diakonos), seorang yang tidak diperhitungkan namun pelayanannya amat dibutuhkan (hyperetes), seorang yang disorot oleh banyak orang (litourgikos).

3. Obyek Pelayanan

Siapakah yang kita layani? Sebagai pelayan Tuhan, kita harus sadar bahwa kita melayani TUHAN, Allah Pencipta langit dan bumi. Nabi Elia, misalnya, selalu menyatakan “Demi TUHAN yang kulayani” ketika ia menyampaikan firman TUHAN kepada umat-Nya (1 Raja 17:1; 18:15). Rasul Paulus pun menyatakan hal yang sama (Roma 1:9).
Berikutnya, dalam melayani TUHAN itu kita juga melayani saudara seiman dan sesama. Itu berarti bahwa memahami kebutuhan manusia dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kita.

4. Tujuan Pelayanan

Tujuan pelayanan yang kita lakukan adalah untuk menggenapi rencana Allah bagi seluruh umat manusia dan untuk memuliakan nama-Nya. Apa pun yang kita katakan atau lakukan adalah demi nama Tuhan dan bagi kemuliaan-Nya, termasuk sebagai usher dan kolektan (Kol. 3:17).


5. Dasar Dan Motivasi Pelayanan

5.1. Motivasi Umum

Setiap kali seseorang melakukan sesuatu, ia pasti memiliki suatu dorongan tertentu untuk mau melakukan hal itu. Dorongan itu disebut motivasi. Jadi motivasi adalah “daya gerak yang mencakup dorongan, alasan, dan kemauan yang timbul dalam diri seseorang yang menyebabkan dia berbuat sesuatu.”
Banyak hal yang bisa dijadikan dasar dan motivasi dalam melayani, tetapi hanya ada dua hal penting yang membuat seseorang dapat tetap bertahan dalam pelayanan
Pada umumnya dikenal 3 (tiga) bentuk motivasi.

(a) Motivasi Ketakutan (Fear Motivation), yaitu motivasi karena adanya rasa takut. Orang mau melakukan sesuatu karena takut akan adanya paksaan atau tekanan dari berbagai pihak. Ia takut akan akibatnya jika ia tidak melakukan hal itu.
(b) Motivasi Imbalan (Incentive Motivation), yaitu motivasi karena adanya imbalan (intensif). Imbalan ini bisa berupa pujian, prestise, promosi atau penghargaan.
(c) Motivasi Sikap (Attitude Motivation), yaitu motivasi yang berhubungan erat dengan tujuan-tujuan yang bersifat pribadi, bukan dari luar. Bentuk ini juga disebut Motivasi Diri (Self Motivation).

Dalam bukunya yang berjudul Master Builders, Bob Gordon menyatakan bahwa pada umumnya dalam melakukan sesuatu kita, orang-orang Kristen dimotivasi oleh hal-hal berikut :

Negatif
Netral
Positif

Paksaan
Kemarahan
Kecemburuan
Hati yang luka
Ketakutan
Kebanggaan
Kemalasan
Kebencian
Perselisihan
Kesepian
Kejahatan
Keputusasaan
Ketidakamanan
Rasa puas diri
Kecemasan
Rasa Bersalah
Ketidakberanian
Kelicikan
Kekecewaan

Kebahagiaan
Kehormatan
Euforia
Kepuasan
Kompromi
Ketidaksetujuan
Tekanan
Kemurnian
Hasrat
Lingkungan
Niat baik
Moralitas
Keamanan
Persaingan
Kegairahan
Kesenangan
Kesadaran
Keberhasilan
Kesehatan Fisik

Kesalehan
Kekudusan
Kebenaran
Kedamaian
Sukacita
Kemurahan
Kebaikan
Kesetiaan
Belas kasihan
Pengharapan
Kasih
Penyangkalan diri
Takut akan Allah
Kesabaran
Kelemahlembutan
Penguasaan Diri
Visi dari Allah
Anugerah
Kesadaran akan Allah

5.2. Sumber Motivasi
Darimana motivasi itu timbul? Pada umumnya ada tiga sumber motivasi :

(a) Biogenesis – yaitu keberadaan orang itu sendiri. Sejak awal orang seperti ini memang sudah aktif dan agresif. Ia mampu membangun motivasi diri dengan baik. Orang seperti ini memiliki prinsip hidup yang amat kuat, dan rasa percaya diri yang amat besar.
(b) Sosiogenetis – yaitu lingkungan sekitar. Seorang anak akan makan lebih banyak jika ia diletakkan di tengah-tengah lingkungan orang lain yang juga sedang makan dnegan lahapnya. Orang yang tidak mampu berbahasa Inggris “dipaksa” untuk bisa mengguna-kan bahasa itu jika ia diterjunkan di tengah lingkungan yang berbahasa Inggris.
(c) Teogenesis – yaitu dari Tuhan, sifatnya supranatural. Contoh yang sangat jelas adalah motivasi Rasul Paulus dalam memberitakan Injil (Kisah 26:19)



5.3. Motivasi Alkitabiah

Setelah kita memahami hakekat pelayanan, pertanyaan berikutnya adalah “apa yang bisa membuat seseorang mau melayani?” Saya melihat setidaknya ada 5 (lima) hal yang dapat memotivasi kita melayani Tuhan.

(a) Motivasi Ketaatan, yaitu ketaatan untuk melakukan perintah Tuhan yang meme-rintahkan kita agar melayani Tuhan dan sesama, yaitu membuat orang yang kita layani semakin mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan (Mat. 22:37-39).
(b) Motivasi Kasih, yaitu kasih akan sesama seperti yang dimiliki oleh Tuhan Yesus sendiri ketika Ia melihat orang banyak “lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Mat. 9:36), terlebiih kepada mereka yang masih terhilang dalam dosa. Setiap jiwa amat berharga di hadapan Allah.
(c) Motivasi Keteladanan, yaitu kerinduan meneladani apa yang Tuhan Yesus lakukan saat Ia berkata bahwa Ia datang untuk melayani (Mrk. 10:45). Bahkan Ia mengatakan bahwa kita dimampukan melakukan pekerjaan yang lebih besar dari yang dilakukan-Nya (Yoh. 14:12).
(d) Motivasi Regeneratif, yaitu melihat ke depan, dimana masa depan gereja dan kekristenan ada di tangan orang-orang yang kita layani sekarang. Kita harus menghasil-kan keturunan ilahi (Mal. 2:15), serta mewariskan iman yang hidup itu kepada generasi yang kemudian (2 Tim. 1:5).
(e) Motivasi Eskhatologis, yaitu melakukan tindakan preventif agar mereka tidak menjadi generasi yang rusak, sebagaimana yang diingatkan oleh Rasul Paulus tentang kondisi zaman akhir (2 Tim. 3:1-5)

----- 00000 -----


pdt. drs. petrus f. setiadarma, mdiv.