Pendahuluan
Setiap kali orang berbicara tentang gereja, selalu diasosiasikan dengan kerohanian (spiritualitas!). Gereja dipandang sebagai pusat dan gudang hal-hal yang berbau spiritualitas. Gereja dipandang identik dengan spiritualitas. Karena itu, pemimpin dalam kejemaatan dipandang sebagai figur yang "sangat rohani". Di satu sisi pandangan ini amat positif dalam arti bahwa pelbagai problema kehidupan yang dihadapi jemaat bisa mendapatkan solusinya melalui konseling dengan para pemimpin jemaat yang dipandang lebih rohani dari padanya. Namun di sisi yang lain pandangan ini membuat jemaat amat bergantung kepada pemimpin tersebut, mudah disesatkan, dan segera menjadi kecewa lalu meninggalkan persekutuan, ketika sang pemimpin melakukan kekeliruan. kesalahan atau dosa.
Sebaliknya, orang juga beranggapan bahwa tindakan-tindakan spiritualitas hanya bisa dilakukan dalam lingkup gereja (baca: gedung gereja!). Pelbagai kegiatan yang ada di luar lingkup gereja bersifat profan dan sekuler! Pandangan yang lebih sempit lagi: kegiatan spiritualitas hanya dilakukan dalam ibadah raya di hari Minggu, sedangkan di luar hari itu tidak bisa disebut sebagai kegiatan spiritualitas.
Tulisan ini dibuat guna meletakkan spiritualitas kepemimpinan jemaat pada proporsi yang sebenarnya, agar kita dapat membimbing jemaat sehingga mereka memiliki pandangan yang sehat terhadap pemimpin jemaat.
Pengertian Spiritualitas Kristen
Apakah "Spiritualitas Kristen" itu? Istilah "Spiritualitas Kristen" menunjuk kepada dua hal: sebuah pengalaman hidup dan suatu disiplin ilmu akademis. Sebagai sebuah pengalaman hidup istilah ini mengacu pada keseluruhan hidup Kristiani yang berorientasi pada pengetahuan transenden, kebebasan, dan kasih dalam nilai-nilai dan gagasan luhur yang diterima dan digumuli dalam Yesus Kristus melalui Roh Kudus dalam gereja-Nya sebagai persekutuan orang-orang percaya.
Menurut Michael Downey1, spiritualitas ini berkenaan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengalaman hidup Kristiani, khususnya persepsi dan upaya mencapai gagasan atau tujuan tertinggi hidup Kristiani, yaitu suatu kesatuan yang lebih intensif dengan Allah yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus melalui kehidupan dalam Roh.
Dalam upayanya menggali metode guna memahami Spiritualitas Kristen ini,
In charting the terrain of Christian spirituality it may be helpful to identify seven focal points of investigation. From this vantage point, Christian spirituality is concerned with the work of the Holy Spirit (in itself a rather slippery term!) in persons:
1) within a culture; 2) in relation to a tradition; 3) in light of contemporary events, hopes, suffering and promises; 4) in remembrance of Jesus Christ; 5) in efforts to combine elements of action and contemplation; 6) with respect to charism and community; 7) as expressed and authenticated in praxis.
Dari sini kita melihat bahwa Spiritualitas Kristen memiliki beberapa keunikan dibandingkan spiritualitas pada umumnya.
Pertama, adalah adanya Pribadi Ilahi, yaitu Roh Kudus yang menjadi Penolong bagi kita (Yoh 14:16-17). la adalah suatu Pribadi yang memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak bagi gereja-Nya. Dengan adanya Roh Kudus yang membimbing orang percaya kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13), maka Spiritualitas Kristen bukan upaya pencarian dalam ketidak-pastian dan menjemukan, melainkan suatu bentuk ketaatan dalam kepastian dan menggairahkan. Roh Kuduslah yang akan menyatakan kepada kita apa yang tersembunyi dalam diri Allah (1 Kor 2.10).
Kedua, gereja ditempatkan di tengah-tengah dunia yang memiliki beragam budaya. Bentuk-bentuk Spiritualitas Kristen tidak dideterminasi oleh gereja tertentu dari budaya tertentu, melainkan bersifat kontekstual dengan budaya di mana orang percaya berada.
Ketiga, karena gereja memiliki latar belakang sejarah yang begitu kuat, maka Spiritualitas Kristen tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Namun demikian bukanlah sesuatu yang kuno dan ketinggalan jaman, melainkan juga tetap mengikuti arah perkembangan yang ada secara selektif.
Keempat, pusat Spiritualitas Kristen adalah Pribadi Yesus Kristus itu sendiri. Karena oleh Dialah kita dapat mengenal dan tiba kepada Allah (Yoh 14-8).
Kelima, Spiritualitas Kristen bukan hanya bersifat vertikal yaitu berfokus hanya hubungan dengan Allah, tetapi juga bersifat horizontal yaitu dalam hubungannya juga dengan manusia. Ibadah umat Tuhan dalam Perjanjian Lama terus menerus dikoreksi oleh para nabi, agar mereka menyeimbangkan kedua hal ini ( Yes 58). Dasatitah yang disempumakan oleh Yesus dengan Hukum Kasih juga menyangkut dua aspek ini (Mat 22:37,39).
Dalam keunikan Spiritualitas Kristen inilah vitalitas kepemimpinan dalam penatalayanan jemaat diuji.
Kepemimpinan Jemaat
Penulis melihat setidaknya ada 3 (tiga) ciri penting dalam spiritualitas pemimpin jemaat.
(1) Kepemimpinan yang berdasar kepada Alkitab – keputusan
Jemaat yang tinggal di tengah-tengah masyarakat plural ini diutus oleh Yesus Kristus sendiri "seperti domba di tengah-tengah serigala." Jemaat harus "cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati." (Mat 10:16). Untuk bisa menjadi cerdik dan tulus, tentunya dalam mengambil keputusan jemaat membutuhkan acuan atau standar yang ditetapkan Allah sendiri agar setiap keputusan yang diambil tidak keliru.
Spiritualitas pemimpin jemaat pada bagian ini nampak dari sejauh mana ia melakukan tugasnya untuk selalu mengarahkan jemaat agar hidup di dalam kebenaran firman Allah, yaitu Alkitab. Tentunya pemimpin itu sendiri mau hidup di dalam kebenaran firman Tuhan. Ia memiliki waktu khusus untuk belajar firman Allah, belajar hidup sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya, dan mengajarkannya kepada jemaat (Ezra 7:10).
Institusi pendidikan teologia (baca: STT Abdiel) akan membimbing para calon pemimpin jemaat (rohaniwan) untuk menjadikan Alkitab sebagai narasumber utama dari apapun yang dipelajari dalam institusi tersebut. Pemazmur berkata bahwa firman Tuhan mampu menjadikan seseorang lebih bijaksana, lebih berakal budi, dan lebih mengerti (Maz 119:97-100).
Setiap pemimpin jemaat harus mampu berapologia ketika otoritas Alkitab digoncang sebagaimana akhir-akhir ini bermunculan buku-buku yang membahas Injil gnostik, seperti The Gospel of Judas, The Lost Gospel, dan sebagainya. Itu berarti bahwa setiap pemimpin jemaat harus mau terus-menerus belajar teologia dan pelayanan praktis lainnya.
Setiap pemimpin jemaat juga harus meyakini kuasa firman Tuhan yang mengubah dan memperbaharui kehidupan setiap orang yang percaya, sebagaimana yang Paulus katakan kepada Timotius (2 Tim. 3:15-17). Bahkan, Immanuel Kant, filsuf ternama yang tidak menganut agama ortodok apa pun, berkata: "Keberadaan Alkitab sebagai kitab untuk manusia merupakan hikmah paling besar yang umat manusia pernah bisa alami."3
(2) Kepemimpinan yang berpusat kepada Kristus - karakter
Spiritualitas berikutnya adalah dalam pembentukan karakter (character building). Allah telah menyediakan bagi umat-Nya sebuah keteladanan dalam pribadi Anak-Nya yang Tunggal, yaitu Yesus Kristus. Setiap pemimpin jemaat harus hidup seperti Kristus telah hidup, dan mampu membimbing jemaat untuk memiliki kehidupan Kristus di dalam dirinya (1 Yoh 2:6).
Sebagai contoh, seorang motivator di bidang bisnis dan manajemen sekaliber A.B. Susanto saja, melalui buku-buku yang ditulisnya, mampu memotivasi para pelaku bisnis dan manajemen untuk meneladani kehidupan Yesus dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Dalam sambutannya terhadap salah satu buku tersebut, A.A. Yewangoe menyatakan4
Mengikuti teladan Yesus, sebagaimana terungkap baik dalam ucapan-ucapan-Nya, maupun dalam perilaku-Nya tidak bisa dilakukan dengan setengah-setengah. Dengan kata lain, hal mengikuti keteladanan itu mesti terasa dan terlihat dalam kegiatan-kegiatan apa pun yang dilakukan oleh para pengikut-Nya.
Adalah sesuatu yang janggal apabila para pemimpin jemaat tidak lagi mau meneladani Yesus Kristus dan beralih mencari figur lain, sementara para sosok pribadi yang mendorongnya mengadakan perubahan dan pembaharuan bagi negaranya dengan cara seperti cara Kristus. D. James Kennedy menulis5
Waktu Yesus Kristus memutuskan untuk muncul dalam bentuk manusia, Ia mengilhami umat manusia dengan harkat dan nilai inheren yang belum pernah diimpikan sebelumnya. Apa pun yang disentuh Yesus atau apa pun yang dilakukan-Nya mengubah aspek kehidupan manusia. Banyak orang akan membaca mengenai banyak sekali insiden kecil dalam kehidupan Kristus sementara tidak pernah memimpikan bahwa hal-hal kecil yang diucapkan sepintas lain itu akan mengubah sejarah umat manusia.
Ketika para pemimpin jemaat gagal untuk meneladani Kristus - bukan karena tidak mampu, tetapi tidak mau - maka cepat atau lambat, pelayanannya akan kering dan gersang. Memiliki karakter seperti Kristus mutlak dibutuhkan dalam pelayanan. Karakter seperti yang dicirikan dalam sifat-sifat buah Roh (Gal 5:22-23) harus nampak dalam perkataan dan tindakan para pemimpin jemaat.
(3) Kepemimpinan yang digerakkan oleh Roh Kudus - kharisma
Peristiwa Pentakosta dalam Kisah 2 merupakan suatu bukti penggenapan janji Tuhan Yesus Kristus sendiri bahwa para murid (pemimpin rohani) akan menerima kuasa (dunamiV) yang memampukan mereka menjadi pemimpin yang efektif. Sebenarnya sebelum peristiwa itu Yesus juga telah memberi mereka kuasa dan tenaga (power and authority) untuk dapat melayani seefektif mungkin. Terlebih karena dalam spiritualitas Kristiani dikenal adanya musuh rohani. yaitu Iblis dan setan-setan, maka kemenangan hanya bisa diperoleh jika seluruh jemaat hidup dalam kepenuhan Roh Kudus.
Terlebih bagi kita yang melayani di lingkup Gereja Isa Almasih yang secara historis merupakan gereja beraliran pentakosta (dengan nama asal Sing Ling Kauw Hwee - Sidang Roh Kudus), maka kehidupan dan pelayanan yang dipimpin oleh Roh Kudus - sesuai dengan Pengakuan Iman Gereja Isa Almasih - bukan sesuatu yang baru.
Selain dari buah Roh yang dihasilkan sebagai karakter pemimpin jemaat, maka spiritualitas juga dapat dilihat dari kharisma yaitu pemberdayaan karunia dan talenta yang telah dikaruniakan Roh Kudus ... seperti yang dikehendaki-Nya (1 Kor. 12:11) dan ... sesuai dengan kemampuannya (Mat 25: ).
Jemaat dan masyarakat di sekitar gereja tetap menantikan kehadiran Tuhan dan kuasa-Nya melalui pelayanan para pelayanan-Nya. Pelbagai karunia dalam 1 Korintus 12, Roma 12, Efesus 4 dan yang lainnya harus mendapat tempat yang seluas-luasnya secara seimbang dalam pelayanan. Karunia nubuat, kesembuhan ilahi, dan mengadakan mukjizat dibutuhkan, tetapi karunia mengajar juga dibutuhkan, agar jemaat memahami makna nubuat, kesembuhan ilahi, dan mukjizat dengan benar.
Stephen Tong dengan tegas menyatakan beberapa karya Roh Kudus dalam gereja, yaitu karya pengudusan, karya kesaksian Kristus, karya pengaktifan fungsi rasio, karya mempertobatkan manusia, dan karya memimpin pada kebenaran.6 Itu berarti bahwa karya Roh Kudus sama sekali tidak bisa diabaikan dalam dinamika pelayanan gereja Tuhan.
Di samping ketiga ciri spiritualitas pemimpin di atas, Henri J.M. Nouwen7 menyatakan bahwa seorang pemimpin (baca: pelayan) gerejawi haruslah seorang yang memenuhi ketiga syarat berikut: mampu mengartikulasikan peristiwa-peristiwa batin, bela-rasa, dan seorang kontemplatif. Ia memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan komtemplatif di sini bukan cara hidup di belakang tembok dengan kontak yang sangat terbatas dengan dunia yang bergerak sangat cepat ini, melainkan kontemplatif yang sangat aktif yang bercorak evokatif. Menurut Nouwen,8
Seorang pemimpin yang kontemplatif akan mampu mengarahkan pandangan orang yang ingin melihat lebih jauh ketimbang dorongan-dorongan naluri, dan mengarahkan tenaga yang tidak teratur ke dalam saluran-saluran yang kreatif.
Seorang pemimpin kontemplatif juga adalah seorang "revolusioner" dalam arti yang paling asli, yaitu menjalankan fungsi kenabiannya sehingga mampu mengubah jalannya sejarah (history maker), membebaskan orang dari keresahan dan kecemasannya dan mengarahkannya kepada tindakan-tindakan kreatif yang akan membangun dunia yang lebih baik.
Ia akan melihat secara kritis semua yang terjadi dan mengambil keputusan berdasarkan kesadaran akan panggilannya, bukan karena ingin ternama serta bukan karena takut ditolak
la akan mengajukan kritik kepada kelompok poates, tetapi juga kepada orang-orang yang hanya mau tenang-tenang, kalau alasan-alasan mcreka keliru dan tujuan mereka tidak jelas.
Spiritualitas kepemimpinan dalam pelayanan jemaat bukan hanya nampak dalam diri pribadi sang pemimpin, melainkan juga pada fungsi-fungsi gereja yang ditanganinya.
Spiritualitas dalam Fungsi-fungsi Gereja
(1) Fungsi Koinonia - Persekutuan
Yang dimaksud dengan persekutuan di sini bukan sekedar beribadah bersama, tetapi di antara jemaat ada komunikasi dan interaksi satu sama lain. Dalam era munculnya mega church seperti yang penulis lihat dewasa ini, maka interaksi antar jemaat menjadi berkurang, sehingga perlu dibentuk kelompok-kelompok kecil (dalam lingkup GIA disebut KPK - Kelompok Persekutuan Keluarga), yang memiliki basis Alkitabiah amat kuat, yaitu meneladani gereja mula-mula (Kisah 2:41-47).
Bahkan, menurut John Stott, pengertian Alkitabiah tentang Koinonia lebih dalam lagi, yaitu memiliki tiga bentuk:9
(a) apa yang kita bagikan bersama. warisan Kristen milik kita bersama, yaitu iman, keselamatan, dan kasih karunia Allah;
(b) apa yang kita bagikan keluar bersama-sama apa yang dilakukan bersama, kebersamaan dalam pelayanan;
(c) apa yang kita bagikan satu dengan yang lainnya, dan bentuk tindakan kasih dan perbuatan baik.
Dalam fungsi Koinonia ini. spiritualitas nampak dalam relasi timbal baik antara sesama saudara seiman.
(2) Fungsi Marturia - Kesaksian
Spiritualitas juga harus nampak dalam kesaksian gereja ke dunia yang ada di sekitarnya secara kontekstual, berupa pemberitaan Injil dan perbuatan baik yang menyertainya sebagaimana Yesus Kristus sendiri telah melakukannya (Luk 4:18-19).
Di sini spiritualitas kepemimpinan nampak dalam menangkap hati Allah, yaitu hati misi, yang menginginkan agar semua orang berbalik dan bertobat (2 Pet 3:9).
John Stott menyatakan agar para pemimpin jemaat menaruh perhatian pada bagaimana melengkapi kaum awam (baca: kawan sekerja Allah) guna tugas kesaksian ini sesuai dengan Efesus 4:11-12. ia mengutip Dr. Trueblood bahwa tugas pemimpin jemaat adalah,10
"Mengamati kemampuan yang masih terpendam, dan menggalinya keluar, serta mengaktifkan segalapotensi di dalam kehidupan utnat manusia – inilah tugas menemukan diri sendiri. "
(3) Fungsi Diakonia - Pelayanan
Spiritualitas kepemimpinan dilihat dari sejauh mana mereka mau turun melayani. Bahkan demi memberikan teladan kepada semua orang percaya. Yesus Kristus rela membasuh kaki murid-nurid-Nya (Yoh 13:12-15).
Sejak gereja purba, fungsi pelayanan (diakonia) sudah nampak jelas, baik sasarannya maupun mereka yang melayaninya (Kisah 6:1-7). Di dalam gereja Tuhan selalu saja ada orang yang perlu dilayani. Oleh sebab itu semuanya harus diatur dan diorganisasi sedemikian rupa sehingga baik pelayanan doa dan pemberitaan firman, maupun pelayanan diakonia dapat tertangani dengan baik.
(4) Fungsi Didaskalia - Pengajaran
Terhadap ketiga fungsi sebelumnya, seluruh jemaat harus memperoleh pemahaman yang benar melalui pembinaan, pengajaran, pelatihan, dan pemuridan. Dalam fungsi pembinaan (didaskalia) ini semua kebenaran firman Tuhan diajarkan secara seimbang, yaitu secara dogmatis dan praktis.
Darrel W. Ribinson mengatakan, bahwa melalui pelayanan kawan sekerja Allah yang telah diperlengkapi itu, gereja dibangun dalam dua hal.
Pertama, dalam hal kedewasaan. Gereja bertumbuh sampai pada tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.
Kedua, gereja dibangun dalam hal jumlah. Melalui pelayanan kawan sekerja Allah ini. orang-orang dibimbing kepada Kristus. Mereka kemudian bergabung ke dalam gereja sehingga jumlah anggota pun bertambah.11
Kesimpulan
Seluruh keberadaan kepimpinan jemaat: karakter, kepribadian maupun pelayanannya serta upaya memperlengkapi seluruh orang percaya tidak terlepas dari spiritualitas. Bahkan semuanya itu merupakan perwujudan spiritualitas. Dengan demikian dalam spiritualitas kepemimpinan jemaat hanya dikenal motto: Kristus untuk semua, dan semua untuk Kristus.
Disampaikan di STT Abdiel Ungaran, 17 Januari 2007
1 Michael
2 Ibid.
4 A.B. Susanto. Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin: Implementasi Perilaku Yesus dalam Kehidupan Sehari-hari, xiii
5 D. James Kennedy, Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? 14.
5 D. James Kennedy, Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? 14.
6 Stephen Tong, Kerajaan Allah, Gereja an Pelayanan, 37-40
7 Henri J.M. Nouwen, Yang Terluka Yang Menyembuhkan, 40
8 Ibid., 47
9 John Stott, Satu Umat: Menuntun Gereja Menjadi Komunitas Yang Melayani, 94-96
10 Ibid., 57-58
11 Darrel W. Robinson, Kehidupan Gereja yang Utuh, 157.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar